Minggu, 15 November 2015

Baca Online Novel To All The Boys I've Loved Before [Bab 1]

Bab 1

JOSH adalah pacar Margot, tapi kurasa seluruh keluargaku bisa dibilang sedikit jatuh cinta kepadanya. Sulit dikatakan siapa yang cintanya paling besar. Sebelum dia jadi pacar Margot, dia hanyalah Josh. Josh selalu ada. Kubilang dia selalu ada, tapi kurasa itu tidak benar. Josh pindah ke sebelah rumahku lima tahun yang lalu. Tapi, rasanya seperti dia selalu ada.


Ayahku menyukai Josh karena dia anak laki-laki, sementara ayahku selalu dikelilingi perempuan. Aku sungguh-sungguh. Sepanjang hari, ayahku dikelilingi perempuan. Ayahku adalah seorang dokter kandungan dan dia juga ayah dari tiga orang anak perempuan, jadi hari-harinya selalu dipenuhi oleh perempuan, perempuan, dan perempuan. Ayahku juga menyukai Josh karena Josh suka buku komik dan bersedia pergi memancing bersamanya. Ayah pernah mencoba mengajak kami memancing. Tapi, aku menangis saat sepatuku terkena lumpur, Margot menangis waktu bukunya jadi basah, dan Kitty menangis karena memang Kitty bisa dibilang masih bayi.

Kitty menyukai Josh karena cowok itu mau bermain kartu bersamanya dan tidak merasa bosan. Atau setidaknya berpura-pura tidak bosan. Mereka membuat kesepakatan satu sama lain ---kalau aku menang di permainan berikutnya, kau harus membuatkan sandwitch bakar-selai-kacang-crunchy, tanpa pinggiran roti. Itulah Kitty. Tentu saja tidak akan ada selai kacang crunchy dan Josh akan bilang, “Sayang sekali, pilihlah makanan lain.” Namun, Kitty akan merengek sampai Josh menyerah dan pergi membelinya, karena memang begitulah Josh.

Kalau aku harus mengatakan alasan kenapa Margot mencintai Josh, kurasa mungkin aku akan bilang karena kami semua mencintai Josh.

Kami sedang berada di ruang keluarga, Kitty sedang  menempelkan gambar-gambar anjing ke selembar kertas karton raksasa. Kertas dan sisa-sisa guntingan bertebaran di sekelilingnya. Kitty bergumam pada dirinya sendiri, “Kalau Daddy menanyakan apa yang kuinginkan untuk Natal, aku akan menjawab, ‘Pilih saja salah satu dari jenis anjing ini dan kita punya hadiah Natal.’”

Margot dan Josh duduk di sofa. Aku sedang berbaring di lantai, menonton TV. Josh membuatkan semangkuk besar popcorn, dan aku melahapnya penuh penghayatan, segenggam demi segenggam.

Sebuah iklan parfum muncul di TV, seorang gadis memakai gaun balter berwarna ungu anggrek yang kainnya setipis kertas tisu sedang berlari menyusuri jalanan kota Paris. Aku bersedia memberikan apa pun untuk bisa menjadi gadis itu, dengan gaun setipis kertas tisu berlarian mengelilingi Paris di musim semi! Aku bangun dengan sangat mendadak sampai tersedak sebutir popcorn. Sambil terbatuk-batuk aku berkata, “Margot, ayo kita bertemu di Paris saat aku libur musim semi!” Aku sudah mulai membayangkan diriku berputar-putar dengan kue macaron rasa kacang pistachio di satu tangan dan rasa rasberi di tangan yang lain.

Mata Margot berbinar, “Apa menurutmu Daddy akan memberimu izin?”

“Tentu saja, itu sudah tradisi. Daddy harus memberiku izin.” Tapi aku memang belum pernah terbang sendirian sebelumnya. Dan aku bahkan belum pernah pergi ke luar negeri. Apa Margot akan menemuiku di bandara, atau aku harus mencari jalan menuju hotel seorang diri?

Josh pasti melihat rasa cemas yang mendadak terlukis di wajahku karena dia berkata, “Jangan khawatir. Ayahmu pasti akan memberimu izin kalau aku pergi bersamamu.”

Wajahku berubah cerah. “Yeah! Kita bisa tinggal di sebuah hotel dan hanya makan roti dan keju setiap hari.”

“Kita bisa mengunjungi makam Jim Morrison!” tambah Josh.

“Kita bisa mengunjungi tempat pembuatan parfum dan membuat parfum pribadi!” Aku bersorak sementara Josh mendengus.

“Um, aku cukup yakin kalau ‘membuat parfum pribadi’ di sebuah tempat pembuatan parfum harganya sama dengan biaya tingga di hotel selama seminggu,” ujar Joshg. Dia menyodok Margot. “Adikmu menderita delusi kemewahan.”

“Dia yang paling pesolek di antara kami bertiga.” Margot sependapat.

“Bagaimana dengan aku?” Kitty merengek.

”Kau?” ejekku. “Kau gadis Song yang paling tidak anggun. Aku harus memohon agar kau mau mencuci kakimu setiap malam, apalagi untuk mandi.”

Wajah Kitty memberengut dan memerah. “Aku tidak sedang membicarakan itu, dasar burung Dodo. Aku sedang bicara tentang Paris.”

Aku menjawab dengan santai. “Kau terlalu muda untuk tinggal di sebuah pondokan.”

Kitty merangkak mendekati Margot dan duduk di pangkuannya, meski umurnya sudah sembilan tahun dan anak seumur itu terlalu besar untuk duduk di pangkuan seseorang. “Margot, kau akan mengizinkanku pergi, kan?”

“Mungkin kita bisa menjadikannya sebuah liburan keluarga,” jawab Margot sambil mencium pipi Kitty. “Kau dan Lara Jean dan Daddy, semua boleh ikut.”

Aku cemberut. Itu sama sekali bukan liburan ke Paris yang sedang kubayangkan. Di atas kepala Kitty, Josh berbicara tanpa suara padaku, Kita bicara lagi nanti, dan diam-diam aku mengacungkan ibu jari padanya.
  


***


Malam sudah larut, Josh sudah lama pergi. Kitty dan ayah kami sudah tidur. Aku dan Margot sedang berada di dapur. Margot duduk di hadapan komputernya. Aku duduk di sampingnya sambil membentuk adonan kue menjadi bola-bola dan menggulingkannya ke dalam mangkuk berisi kayu manis dan gula. Kue snickerdoodle ini kubuat agar Kitty tidak marah lagi padaku. Waktu tadi aku masuk ke kamarnya untuk mengucapkan selamat malam, Kitty membelakangiku dan tidak mau bicara. Dia masih yakin bahwa aku akan berusaha menghalanginya ikut liburan ke Paris. Rencanaku adalah aku akan meletakkan sepiring snickerdoodle di samping bantal Kitty agar saat bangun nanti dia akan langsung mencium aroma kue.



Margot sangat pendiam tidak seperti biasanya. Kemudian, tiba-tiba saja, dia mendongak dari komputernya dan berkata, “Aku putus dengan Josh. Setelah makan malam tadi.”



Adonan kue meluncur jatuh dari jemariku ke mangkuk gula.



“Maksudku, memang sudah waktunya,” kata Margot. Matanya tidak memerah. Kurasa dia tidak habis menangis. Suaranya tenang dan tegas. Siapa pun yang melihat Margot pasti akan berpikir dia baik-baik saja. Karena Margot selalu baik-baik saja, bahkan di saat dia merasa sebaliknya.



“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus putus,” kataku. “Hanya karena kau akan pergi kuliah bukan berarti kalian harus putus.”



“Lara Jean, aku akan pergi ke Skotlandia, bukan UVA. Saint Andrews jaraknya hampir empat ribu mil dari sini.” Margot membetulkan letak kacamatanya. “Untuk apa kami terus berpacaran?”



Aku sama sekali tidak percaya Margot akan berkata seperti itu. “Karena pacarmu adalah Josh. Josh yang mencintaimu lebih dari cowok mana pun mencintai seorang cewek!”



Margot memutar bola matanya mendengar jawabanku. Dia pikir aku bersikap terlalu dramatis, tapi tentu saja tidak begitu. Memang benar---sebesar itulah cinta Josh kepada Margot. Dia bahkan tidak pernah mau melirik cewek lain.



Tiba-tiba Margot berkata, “Apa kau tahu apa yang pernah Mommy katakan padaku?”



“Apa?” Untuk sesaat aku melupakan Josh. Karena apa pun yang sedang aku lakukan dalam hidupku, kalaupun aku dan Margot sedang beradu argumen, atau akan tertabrak mobil, aku akan selalu diam dan mendengarkan cerita tentang Mommy. Setiap detail dan setiap kenangan yang dimiliki Margot, aku juga ingin memilikinya. Meski begitu, aku lebih beruntung daripada Kitty. Kitty tidak punya satu pun kenangan tentang Mommy selain yang kami berikan padanya. Kami begitu sering menceritakan sekian banyak kenangan tentang Mommy kepada Kitty sehingga semua kenangan itu sekarang menjadi miliknya. “Apa kau ingat waktu...” Dia akan berkata seperti itu. Kemudian Kitty akan menceritkan kisah itu seolah-olah dia berada di sana dan bukan hanya seorang bayi mungil.



Mommy bilang padaku untuk berusaha agar tidak pergi kuliah meninggalkan seorang pacar. Mommy bilang dia tidak ingin aku jadi seorang gadis yang menangis setiap kali bicara dengan pacarnya ditelepon dan mengatakan ‘tidak’ untuk segala hal, bukannya berkata ‘ya’”.



Kurasa Skotlandia adalah jawaban “ya” bagi Margot. Tanpa berpikir, aku meraih sejumput adonan kue dan memasukkannya ke dalam mulutku.



“Kau tidak seharusnya makan adonan kue mentah,” kata Margot.



Aku mengabaikannya. “Josh tidak akan menghalangimu untuk melakukan apa pun. Dia tidak seperti itu. Apa kau ingat bagaimana dia menjadi manajer kampanyemu waktu kau memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai ketua organisasi siswa? Dia penggemar terbesarmu!”



Mendengar kata-kataku, wajah Margot menjadi muram. Aku pun bangkit dan melingkarkan lenganku di lehernya. Margot menengadah dan tersenyum padaku. “Aku baik-baik saja,” katanya. Namun, dia tidak baik-baik saja, aku tahu itu.



“Masih belum terlambat. Kau masih bisa pergi ke rumahnya sekarang dan bilang kau berubah pikiran.”



Margot menggeleng. “Semua sudah berakhir, Lara Jean.” Aku melepaskan pelukanku dan Margot menutup laptopnya. “Kapan kuenya matang? Aku lapar.”



Aku melirik pengukur waktu magnetik berbentuk telur di kulkas. “Empat menit lagi.” Sambil duduk kembali aku berkata, “Aku tidak peduli apa pun yang kau lakukan, Margot. Hubungan kalian belum berakhir. Kau terlalu mencintainya.”



Margot menggeleng. “Lara Jean...” dia berusaha kembaliu menjelaskan dengan nada penuh kesabaran khas Margot, seolah-olah aku adalah anak kecil dan dia seorang wanita tua bijaksana berusia empat puluh dua tahun.



Aku mengayunkan sesendok penuh adonan kue di depan hidung Margot. Dia ragu, tapi kemudian membuka mulutnya. Aku menyuapinya seperti menyuapi bayi. “Tunggu dan lihat saja, kau dan Josh akan kembali bersama dalam satu atau dua hari.” Namun bahkan saat sedang mengatakannya, aku tahu itu tidak benar. Margot bukan tipe gadis yang putus dengan seseorang lalu kembali bersama lagi dalam sekejap. Kalau dia sudah memutuskan sesuatu, keputusan itu tidak akan berubah. Dia tidak akan goyah, tidak akan ada penyesalan. Seperti yang tadi Margot katakan, waktu dia bilang semua berakhir, semua memang sudah berakhir.



Aku berharap (dan ini adalah keinginan yang sering kali muncul, terlalu sering sampai aku tidak bisa menghitungnya) aku bisa lebih seperti Margot. Karena kadang-kadang rasanya aku tidak akan pernah mampu menyelesaikan apapun.



Setelah mencuci piring, aku menyusun kue di piring dan meletakkannya di dekat bantal Kitty, lalu pergi ke kamarku. Aku tidak menyalakan lampu dan berjalan menuju jendela kamarku. Lampu kamar Josh masih menyala.

Baca Online Novel To All The Boys I've Loved Before [Prolog]

Prolog

Aku senang menyimpan banyak benda. Bukan benda-benda penting seperti ikan paus atau manusia atau alam sekitar. Benda-benda konyol. Lonceng-lonceng porselen, jenis yang biasa kau dapatkan di toko-toko suvenir. Cookies cutter yang tidak akan pernah kugunakan, karena siapa yang butuh kue berbentuk telapak kaki? Pita-pita untuk rambutku. Surat-surat cinta. Dari semua benda yang kusimpan, kurasa bisa dikatakan bahwa surat-surat cintaku adalah simpananku yang paling berharga.



Aku menyimpan surat-suratku di sebuah kotak topi berwarna hijau kebiruan yang dibeli ibuku dari sebuah toko barang antik di tengah kota. Surat-surat itu bukan surat cinta yang ditulis orang lain untukku. Aku tidak punya surat seperti itu. Surat-surat itu adalah surat yang kutulis sendiri. Ada satu surat untuk setiap cowok yang pernah kucintai—totalnya ada lima pucuk surat.



Setiap kali menulis, aku mencurahkan segalanya. Aku menulis seolah-olah mereka tidak akan pernah membacanya. Karena memang mereka tidak akan pernah membacanya. Setiap lamunan rahasia, setiap pengamatan yang kulakukan dengan teliti, dan segala yang kusimpan di dalam hatiku, kutuliskan semuanya di dalam surat-surat itu. Setelah selesai menulis, aku menyegel amplopnya, menuliskan nama dan alamat penerima, lalu menyimpannya di dalam kotak topiku.



Surat-surat cintaku itu bukan seperti surat cinta pada umumnya. Semua kutulis di saat aku tidak ingin mencintai mereka lagi. Semua kutulis sebagai salam perpisahan. Karena setelah menulisnya, aku tidak lagi dikuasai rasa cinta yang menghabiskan segalanya. Aku bisa makan sereal dan tidak lagi bertanya-tanya apakah dia juga senang menambahkan pisang ke dalam Cheeriosnya. Aku bisa bernyanyi mengikuti alunan lagu cinta dan tidak menyanyikan lagu ini untuk mereka. Kalau cinta diibaratkan seperti kerasukan arwah, mungkin bagiku surat-suratku itu semacam upacara pengusiran arwah. Surat-suratku membebaskanku. Atau paling tidak, seharusnya itulah fungsi mereka.
 

Baca Online Novel To All The Boys I've Loved Before (Bahasa Indonesia)


Judul : To All The Boys I've Loved Before
Penulis : Jenny Han
Penerbit : Spring
Tahun Terbit : 2015
Rangking : 4,11/5 (Goodreads)
Status : Incompleted (Tahap Pengerjaan Bab 2)

Sinopsis :
Lara Jean menyimpan surat-surat cintanya di sebuah kotak topi pemberian ibunya. Surat-surat itu bukan surat cinta yang ditujukan untuknya, tapi surat yang ia tulis. Ada satu surat untuk setiap cowok yang pernah  ia cintai—totalnya ada lima pucuk surat. Setiap kali menulis, ia mencurahkan semua perasaannya. Ia menulis seolah-olah mereka tidak akan pernah membacanya karena surat itu memang hanya untuk dirinya sendiri.

Sampai suatu hari, semua surat-surat rahasianya itu tanpa sengaja terkirimkan—entah oleh siapa.
Saat itu juga, kehidupan cinta Lara Jean yang awalnya biasa-biasa saja menjadi tak terkendali. Kekacauan itu melibatkan melibatkan semua cowok yang pernah ia tulis di surat cintanya—termasuk cinta pertamanya, pacar kakaknya, dan cowok terkeren di sekolah.

Baca Online Bahasa Indonesia :
Prolog | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 | 16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 | 23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 | 30 | 31